Bab 5
Perang yang Tak Tuntas
Saat penandatanganan perjanjian Bungaya tanggal 18 November 1667, Speelman mengungkapkan kekhawatirannya akan kemanjuran dokumen ini untuk mempertahankan perdamaian: “…. Kepercayaan pemerintah Makassar terhadap kami masih sedikit sekali; seakan kita masih dalam keadaan perang, meski di luar mereka terlihat ramah dan baik” (Stapel 1922:191). Ketika salinan perjanjian dalam bahasa Melayu diperlihatkan kepada Sultan Banten, dia mengungkapkan bahwa orang di Makassar telah menjanjikan sesuatu yang tidak dapat dan ingin mereka penuhi (Macleod 1900:1290).
Penunjukan Karaeng Karunrung menggantikan Karaeng Sumanna sebagai Tuma’bicara-butta kira-kira tiga hari sebelum perundingan di Bungaya mengisyaratkan apa yang akan terjadi kemudian. Karaeng Karunrung digambarkan oleh Speelman sebagai “seorang yang tidak dapat dipercaya, musuh lama Kompeni, angkuh dan agresif …..” Karena itu Speelman bersikap pura-pura terhadap tudingan Karaeng Karunrung kepada Arung Palakka bahwa dia tidak disukai lagi oleh Sultan Hasanuddin (KA 1157a:330v). Dan kejadiankejadian di kemudian hari membuktikan terjadinya keretakan besar di istana Goa, ini diiringi dengan meluncurnya tuduhan dan balasannya dari faksi yang pro dan kontra perang setelah berakhirnya perang. Meski demikian, kekalahan Goa yang dulunya sangat kuat, membawa sesuatu yang positif: menyatukan kedua faksi dalam kemarahan dan keputusasaan atas perampokan terhadap negeri mereka. Kekuasaan mereka diruntuhkan, dan mereka tidak punya kekuatan untuk mencegah tahanan yang baru saja bebas, bergabung dengan tentara Bugis, Turatea, Butung dan Ternate untuk melakukan penjarahan besar-besaran (KA 1157a: 327v ,330r ,339v).
Dalam kemarahan, para pemimpin Goa menyaksikan pengambilalihan wilayah-wilayah yang secara tradisional selalu menjadi bagian kekuasaan Makassar. Benteng Ujung Pandang diserahkan kepada Belanda, begitu pula Galesong, pantai barat dari Popo di selatan hingga Barombong di utara, serta Bantaeng dengan seluruh sawahnya yang subur (KA 1157a:340r). Bahkan harapan bahwa Belanda akan pergi setelah perjanjian ditandatangani harus terkubur oleh penempatan permanen Belanda di Benteng Ujung Pandang.
Meski kesuraman menyelimuti pemerintahan Goa, Karaeng Karunrung menolak menerima keadaan itu dan mulai membentuk kembali ikatan dengan seluruh sekutu Goa pada masa perang. Pendukung utama Goa adalah selalu orang Melayu Makassar yang penghidupannya kini terancam oleh kehadiran Belanda di Makassar. Seruan juga disampaikan langsung kepada rakyat Bangkala dan Layo, yang penguasanya bergabung dengan Arung Palakka dan Kompeni selama perang, kepada penguasa lain di Turatea, penguasa Bantaeng, Bulukumba, “Badjiuy” (?), dan Luwu. Di luar Sulawesi, kerajaan Bima dan Sumbawa memperlihatkan bahwa mereka sangat senang bersekutu dengan Goa.
Bahkan Arumpone La Ma’daremmeng telah dijanjibahwa jika Bone membantu Goa, maka statusnya akan diangkat menjadi “saudara” Goa. Kompeni dan Arung Palakka mencurigai La Ma’daremmeng berencana untuk membuat deklarasi demi mendukung siapa saja hingga dia yakin akan arah perkembangan perang ini (KA 1157b: 359r-360v; KA 1157c:387r-v; KA 1157d:397r; Macleod 1900:1291).
.....Bersambung.... ke Bagian 2


4 komentar:
kunjung balik bro
saya ingin sekali membaca dan kalau bisa memiliki buku ini, kami dikalimantan sangat jarang sekali membaca buku tentang sejarah bugis, mohon infonya??
Tolong cetak lg bro, please
Tolong cetak lg bro, please
Posting Komentar
Jangki' lupa isikan ' komentarta dan Ingatkan ki ADMINnya !!